Perkenalkan, nama saya Lewi. Saya lahir dari keluarga imam. Bapak saya (kami panggil dia ‘abba’) melayani Allah di Bait Suci di Yerusalem. Ketika saya lahir, abba saya senang sekali. Dari sejak saya kecil, jalan hidup saya sudah ditentukan. Sebagai anak laki, saya diharapkan meneruskan pelayanan abba. Dengan antusias, abba berusaha mengajar saya berbagai hal tentang Allah Israel, tentang perbuatannya yang ajaib di Mesir, tentang raja-raja Israel dan Yehuda.
Tetapi apa yang dipersiapkan oleh abba saya itu tidak terjadi. Hidup saya berantakan. Saya berkecimpung dalam dosa. Semua yang dilarang oleh Kitab Suci justru saya lakukan. Sampai suatu hari, saya tidur dan tidak bisa bangun. Kaki saya mendadak lumpuh. Kemana-mana saya harus mengandalkan gendongan orang. Rasa sesal memenuhi diri saya. Mendadak saya ingat akan Tuhan. Tapi sudah terlambat…
Sampai suatu kali, salah satu rekan menganjurkan saya di bawa ke kolam Betesda. Memang kolam itu terkenal sekali sebagai kolam kesembuhan. Sewaktu-waktu, tidak ada yang tahu kapan, air kolam itu akan mendadak bergerak. Itu tandanya malaikat surga turun dan menepuk air kolam itu. Siapa yang pertama turun ke kolam itu akan langsung sembuh, apapun penyakitnya, seberat apapun penyakitnya.
Akhirnya diputuskan bahwa saya dibawa ke sana. Kakak perempuan saya mendampingi saya untuk menolong saya turun ke kolam, kalau air kolam itu goncang. Saya ditempatkan di pinggir kolam supaya gampang turun. Kami perkirakan kami akan menanti barangkali setahun.
Setahun tidak terjadi apa-apa. Dua tahun tidak terjadi apa-apa. Kakak perempuan saya akhirnya meninggalkan saya sendirian di sana, di tengah-tengah ratusan orang sakit. Setiap hari dia membawa makanan buat saya.
Tiga puluh delapan tahun berlalu. Saya masih ada di pinggir kolam kesembuhan itu, tetapi posisi saya semakin jauh dari kolam karena tergeser oleh pendatang baru. Kemungkinan untuk turun ke kolam semakin kecil.
Suatu hari, seperti biasa, saya berbaring di tempat saya, menantikan berlalunya hari-hari yang membosankan. Seorang pria muncul bersama rombongannya belasan orang. Saya terlalu malas untuk memperhatikan mereka. Mendadak saya melihat sepasang kasut kaki berdebu di depan saya. Saya arahkan mata saya ke atas. Pria asing itu… mau apa Dia?
Dia menatap saya dengan satu tatapan yang sulit untuk saya jelaskan. Apa yang ada di mata itu? Kenapa mata-Nya begitu – saya harus pakai kata apa? – mempesona? Saya melihat ke mata-Nya dan rasanya tidak ingin beralih. Ada sesuatu di mata itu! Mendadak saya merasa ingin menangis. Pandangan mata pria itu mengingatkan saya akan kebejatan hidup saya…
Lalu Dia berbicara. Dari logatnya, Dia orang utara. Barangkali dari daerah Galilea sana. Jelas Dia berbicara kepada saya, sebab Dia berbicara sambil menatap saya. Ada sesuatu, tidak hanya di mata-Nya, tetapi juga dalam suara-Nya. Yah…ada sesuatu dalam suara-Nya. Ada nada kuasa di sana. Pria ini, siapapun Dia, terbiasa memerintah. Dia bertanya: Maukah engkau sembuh?
Saya terdiam sejenak karena bingung. Maukah engkau sembuh? Serius? Masak itu yang Dia tanyakan? Saya ingin menjerit: “Mana ada orang sakit yang tidak mau sembuh??!! Kamu tidak lihat saya ada di mana?? Saya kan lagi ada di pinggir kolam kesembuhan???!!”
Mendadak saya sadar bahwa ada maksud yang dalam di balik pertanyaan-Nya! Dia tahu sesuatu yang bahkan saya sendiri tidak tahu. Ternyata saya sudah tidak berharap sembuh! Tragis, saya duduk di pinggir kolam kesembuhan, tapi sudah tidak pernah berharap bisa sembuh! Saya lumpuh luar dalam! Saya sudah putus asa…
Kesadaran itu sungguh menggoncangkan saya. Lalu saya menjawab dengan lirih: “Tuan, bukan aku tidak mau sembuh. Tapi tidak ada orang yang membawa aku ke kolam kalau airnya goncang. Aku coba bergerak ke kolam tapi selalu ketinggalan oleh orang lain.” Dia menatap ke saya lagi, dan mendadak saya merasakan sesuatu. Getaran gema suara-Nya. Badai topan sekalipun akan teduh ketika mendengar suaranya. Orang matipun akan bangkit oleh kata-kata-Nya. Setan-setan akan lari terbirit-birit…dan penyakit menyingkir… “Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah.”
Saya tidak punya kesempatan dan kemampuan untuk bertanya: “Bagaimana caranya orang lumpuh bisa angkat tilam dan jalan?” Tidak, terhadap suara itu, kita tidak bisa membantah.
Saya bergerak untuk bangun. Saya pandang tilam yang sudah menemani saya selama 38 tahun di kolam itu. Sudah terlalu lama saya berbaring di situ. Sekarang waktunya bangun. Saya mencoba berdiri… Mendadak, kekuatan mengalir kembali di tulang dan otot kaki yang sudah mati 38 tahun!
Saya berdiri dan angkat tilam itu. Untuk pertama kali dalam 38 tahun, saya berjalan lagi. Rasanya seperti mimpi…
Suatu gelombang rasa syukur, takjub campur haru melanda jiwa saya. Air mata membasahi wajah saya! Tuhan baik! Tuhan baik! Terima kasih Tuhan! Terima kasih Tuhan! Saya sembuh! (diceritakan ulang dengan imajinatif dari Injil Yohanes psl 5:1-9)
Kalau tidak hati-hati, berbagai berita tentang virus corona ini akan membawa orang kepada kepanikan. Saat ini di beberapa negara, kepanikan sudah mulai terjadi. Di Australia, orang berkelahi di supermarket karena berebut kertas tisu gulung
Pada jaman corona ini, manusia mencari perlindungan kemana-mana, dari masker, cairan antiseptik sampai ke jahe merah dan kunyit campur kecap manis dan telor asin. Kepanikan manusia menjadi lucu, kalau saja dampaknya tidak tragis. Karena isu virus corona, tisu gulung habis diborong dari toko mana-mana di Australia
Memalsukan tas masih bisa dimaklumi, sekalipun bukan dibenarkan. Memalsukan obat patut dikutuki, karena menyangkut hidup mati seseorang. Berita palsu termasuk yang patut diwaspadai pada jaman medsos ini.