Artikel ini ditulis di atas pesawat Garuda dalam penerbangan Jakarta ke Surabaya. Saya harus pulang lebih cepat daripada jadwal yang seharusnya. Kursi saya di jendela. Di sebelah saya satu orang berbadan sedang, tetapi dengan jangkauan luas. Maksud saya dengan jangkauan adalah jangkauan tangannya. Dia membaca koran dengan tangan membentang dari Barat sampai ke Timur, ke arah saya, melampaui batas wilayah. Saya juga sedang membaca, tapi terpaksa memepetkan tangan dan badan ke dinding pesawat supaya tidak bersinggungan dengan tangan dan koran beliau. Kalau kami diibaratkan negara, jelas-jelas sudah terjadi pelanggaran wilayah yang bisa menyebabkan perang. Bukan hanya itu yang dilakukan teman kita ini. Dia membaca dengan siku menguasai sandaran tangan kursi. Sepanjang perjalanan, siku dia ada di situ, wilayah perbatasan yang dipersengketakan. (Apakah dia membaca tulisan ini? Tidak, saya bisa sembunyikan dengan tulisan warna putih…)
Aniaya ini tidak hanya datang dari sisi kiri saya. Ketika laptop saya buka untuk mengetik artikel ini, mendadak penumpang di depan, tanpa aba-aba, menurunkan kursinya, hampir meremukkan monitor laptop andalan ini. Puji Tuhan, saya sempat menarik laptop tepat pada waktunya, mirip-mirip pertolongan Tuhan. Kalau tidak, yang hancur bisa lebih dari laptop…
‘Plane rage’ adalah istilah untuk menyebut ledakan kemarahan yang terjadi di pesawat terbang. Gara-gara kursi direbahkan, atau minuman telat dikasih, atau tetangga di kursi sebelah menyebalkan, pertengkaran sampai perkelahian terjadi. Dan ini semakin sering terjadi. Manusia tambah hari menjadi tambah pemarah, baik di darat atau di udara.
Berhadapan dengan orang marah itu tidak gampang. Apa lagi kalau yang marah itu di pihak yang salah. Orang salah, ketika ditegur, biasanya bukannya berterima kasih, malah balik ngamuk. (Ingat: ini termasuk kita sendiri ketika sedang marah...) Apa yang saya lakukan di dalam pesawat hari itu, ketika kemarahan mendadak muncul? Buka jendela pesawat supaya ada udara segar?
Saya memutuskan untuk membuka jendela hati supaya angin sejuk dari Roh Kudus berhembus, daripada membuka pintu pesawat dan langsung kembali ke rumah Bapa. Ini yang bisa kita lakukan dalam situasi demikian:
1. Ingat Firman Tuhan (Maz 119:11 TL: Maka segala firman-Mu telah kutaruh dalam hatiku, supaya jangan aku berdosa kepada-Mu.) Amarah biasanya diawali dengan pikiran-pikiran tertentu. ‘Kurang ajar benar sebelah saya ini… Dia pikir ini pesawat punya dia.’ ‘Yang di depan ini sama juga…’ ‘Kalau kelakuan begini dibiarkan, rusaklah negara tercinta ini… kita tidak akan pernah bisa mencapai cita-cita luhur para bapak pendiri bangsa!’ Apa yang terjadi kalau pikiran demikian dibiarkan? Kemarahan semakin naik, begitu juga keinginan untuk berteriak di samping kuping teman sebelah atau tetangga di depan. Jadi saya memutuskan untuk mengingat Firman Tuhan yang saya pernah baca: ‘Orang bodoh melampiaskan amarahnya.’ ‘Hendaklah kamu semua cepat mendengar, lambat bicara dan lambat marah.’ ‘Buah roh adalah … penguasaan diri…’ ‘Hamba Tuhan harus bisa menahan diri … bukan pemarah, melainkan peramah…’ Hati jadi adem… Tentu melakukannya tidak segampang mengetik kalimat-kalimat ini. Diperlukan juga penguasaan diri yang kuat, di bawah pengawalan Roh Kudus.
2. Memikirkan akibat kalau lepas kontrol (Kej 4:7: … dosa sudah mengintip di depan pintu…) Apa yang terjadi kalau saya lepas kontrol? Umpama: ‘Jangan-jangan ini ponakannya si Tempe Wajik, orang kuat itu, seluruh Indonesia takut sama dia, ngga menang aku…’ ‘Di belakang ada orang Kristen yang kenal aku, bisa heboh kalau aku ribut, masuk Youtube… (memang ada 2 orang Kristen yang menegur saya ketika mau masuk pesawat.)’ Yang muncul di pikiran saya waktu itu adalah: ‘Apakah ini hal yang perlu diributkan? Udah, ngalah aja…’ Maka saya mengalah.
3. Lalukan sesuatu yang produktif (Rom 12:9: … Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik…) Sekalipun langkah 1 dan 2 di atas membuat saya tidak bertindak negatif, tetapi saya harus menemukan sesuatu yang positif untuk dilakukan, supaya saya tidak kembali memikirkan ketidakadilan itu kalau saya menganggur. Jadi? Kembali ke lap…top! Saya keluarkan laptop dan menulis artikel tentang pengalaman saya, daripada mengomel dalam hati, sambil berkata: ‘Aku rapopo…tapi sakitnya tuh di sini…!’ (#meraung_sambil_memukul_dada_ sampai_sakit_benar)
Barangkali tetangga sebelah itu teroris mental buat saudara… Barangkali mertua atau mantumu memang nyebelin… Barangkali pasanganmu perlu bertobat… Barangkali adik/abang/ipar/ponakanmu perlu dijewer… Tahan-tahan kemarahanmu, belajar menguasai diri, dan…ngalah saja…
Karena Kristuspun mengalah, dan karena itu, Dia ditinggikan… (Fil 2:5-11)
Kalau tidak hati-hati, berbagai berita tentang virus corona ini akan membawa orang kepada kepanikan. Saat ini di beberapa negara, kepanikan sudah mulai terjadi. Di Australia, orang berkelahi di supermarket karena berebut kertas tisu gulung
Pada jaman corona ini, manusia mencari perlindungan kemana-mana, dari masker, cairan antiseptik sampai ke jahe merah dan kunyit campur kecap manis dan telor asin. Kepanikan manusia menjadi lucu, kalau saja dampaknya tidak tragis. Karena isu virus corona, tisu gulung habis diborong dari toko mana-mana di Australia
Memalsukan tas masih bisa dimaklumi, sekalipun bukan dibenarkan. Memalsukan obat patut dikutuki, karena menyangkut hidup mati seseorang. Berita palsu termasuk yang patut diwaspadai pada jaman medsos ini.